Paradigma New Media: Abilitas dalam Dunia Virtual
Trias Widha Andari
Dosen Desain Komunikasi Visual, Universitas Internasional Semen Indonesia
Bagaimana jika kita tiba-tiba memiliki kemampuan merayap di dinding seperti Peter Parker? Bagaimana jika dalam sekejap kita berubah dari orang yang lemah dan tidak diakui menjadi orang yang sangat terkenal dan tidak dapat dikalahkan? Bagi seseorang dengan fisik normal, bermimpi menjadi ‘super’ normal dengan kemampuan super adalah hal yang wajar. Namun, bagi seseorang dengan keterbatasan fisik, memiliki kemampuan super mungkin menjadi keinginan kedua setelah bermimpi memiliki fisik yang normal. Mimpi-mimpi tersebut kini dapat menjadi kenyataan dalam dunia virtual.
Virtual berasal dari kata virtus dalam bahasa latin yang artinya kekuatan atau ketahanan. Secara filosofis, virtual didefinisikan sebagai sesuatu yang nyata namun tidak konkret. Virtual dibedakan dengan konkret (hal nyata yang aktual) dan abstrak (posibilitas yang ideal). Virtual juga merupakan sebuah idealisasi nyata seperti memori atau mimpi. Memori merupakan unsur virtual yang harus diolah kembali setiap kali dibangkitkan.[1]
Teknologi membuat memori bergerak dari alam virtual ke alam material. Memori yang tidak terwujud pun menjadi dapat dihadirkan melalui alat peraga. Melalui teknologi, virtualitas yang tidak tampak menjadi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Kehadiran website dan media komunikasi bersifat virtual saat ini berasal dari kurir yang berkembang menjadi telegraf, telepon, fax, dan puncaknya adalah kehadiran internet yang dapat menghubungkan seluruh dunia dalam waktu sekejap[2]. Hingga saat ini kehadiran dunia virtual dapat dirasakan dalam bentuk new media. New media dapat diartikan sebagai sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi dari teknologi komunikasi digital yang terhubung dalam jaringan[3]. New media memiliki beberapa prinsip, yaitu digital (berbasis angka), modular, otomatis, memiliki banyak variabel, dan transcoding[4].
Pembahasan pada artikel ini difokuskan pada dunia virtual (dalam konteks new media) bagi penyandang disabilitas dengan keterbatasan fisik. Disabilitas dapat diartikan sebagai gangguan serta keterbatasan aktivitas dan partisipasi. Gangguan yang dimaksud adalah masalah yang terdapat dalam fungsi atau struktur tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Keterbatasan aktivitas dan partisipasi adalah masalah keterlibatan seseorang dalam kehidupan sosial.[5]
Dalam dunia virtual, berbagai macam keinginan manusia baik yang berasal dari mimpi maupun memori dapat diakomodir ke dalam media dan membentuk sebuah kenyataan baru, yaitu kenyataan virtual. Keterbatasan fisik penyandang disabilitas pun dapat ditiadakan. Contohnya, seorang menyandang tunarungu atau tunawicara dapat melakukan komunikasi dua arah dalam jejaring sosial. Dengan cara yang interaktif, keterbatasan kemampuan mengolah kata seolah-olah dapat dihilangkan. Tidak sampai disitu, fasilitas online chat yang membuat lawan bicara seperti tidak sedang berhadapan dengan penyandang disabilitas. Hal yang sama terjadi ketika seseorang yang lumpuh dapat berjalan dan berlari tanpa menggunakan kursi roda melalui karakter yang dimainkan dalam game. Selain dapat berjalan dan berlari, karakter dalam dunia virtual tersebut juga dapat ditampilkan dalam bentuk lain yang bertentangan dengan kondisi yang sebenarnya.
Ketiadaan batasan dalam dunia virtual memberikan kebebasan bagi penyandang disabilitas untuk bermain dalam realitas yang mereka ciptakan sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Huizinga tentang kebebasan dalam permainan[6], penyandang disabilitas dapat terbebas dari keterbatasan fisik dan bebas untuk memilih kemampuan sesuai dengan yang diinginkan juga terpenuhi dalam kenyataan virtual. Huizinga juga menjelaskan beberapa ciri lain dari permainan yang identik dengan dunia virtual bagi penyandang disabilitas, yaitu (1) permainan bukan kehidupan yang sesungguhnya, (2) permainan dibedakan dari kehidupan sebenarnya, baik tempat maupun waktu, (3) permainan menciptakan aturan dan membutuhkan aturan yang absolut, dan (4) permainan tidak berhubungan dengan kepentingan material dan keuntungan dari permainan itu sendiri[7].
Meskipun tidak dapat menghasilkan keuntungan ‘nyata’, kemampuan tersebut dapat memberikan kesenangan tersendiri bagi penyandang disabilitas. Dalam dunia virtual, penyandang disabilitas akan memperoleh pengakuan dan kesetaraan yang tidak didapatkan dari kehidupan nyata. Pada kasus ini, bermain dalam dunia virtual dapat menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi bagi penyandang disabilitas.
Sebagai sebuah arena bermain, dunia virtual memiliki jarak berupa ruang dan waktu dengan kehidupan yang sebenarnya. Dunia virtual memang dianggap bertentangan dengan dunia yang sebenarnya (aktual), tetapi ada kemungkinan bahwa pengalaman virtual dapat menjadi sumber untuk bertindak dalam kehidupan yang sebenarnya[8].
Kepercayaan diri penyandang disabilitas yang terbentuk selama permainan hanya berlaku bagi karakter yang terbentuk dalam dunia virtual. Padahal karakter tersebut merupakan simulasi dari alter ego atau diri mereka yang lain. Ketika kembali ke kehidupan yang sebenarnya, kepercayaan diri tersebut bisa jadi mengilhami mereka untuk benar-benar percaya diri. Jika demikian, bermain dalam dunia virtual dapat menjadi alternatif terapi kepercayaan diri bagi penyandang disabilitas[9]
Sebaliknya, jika kepercayaan diri tersebut hanya terdapat dalam karakter yang dibentuk dalam dunia virtual berarti penyandang disabilitas akan lebih percaya diri menjadi orang lain dibandingkan menjadi diri mereka sendiri di kehidupan nyata. Seperti Peter Parker yang lebih percaya diri ketika menjadi Spiderman dan menyembunyikan identitasnya daripada menjadi orang biasa.
[1] Shields, Rob. 2003. Virtual. Yogyakarta: Jalasutra.
[2] Ibid.
[3] Flew. 2005. New Media : An Introduction. 2nd Edition. Oxford University Press: New York.
[4] Manovich, Lev. The Language of New Media. (www.manovich.net/LNM/Manovich.pdf, diakes 10 Februari 2013)
[5] WHO. Disabilities. (http://www.who.int/topics/disabilities/en/, diakses 11 Februari 2013)
[6] Huizinga, J. 1949. Homo Ludens : A Study of the Play Element in Culture. London: Routledge&Kegan Paul.
[7] Ibid.
[8] Shields, Rob. 2003. Virtual. Yogyakarta: Jalasutra.
[9] West, Jon. 2013. How Virtual Worlds Can Help People Living With Disabilies. (http://www.eyegaze.com/how-virtual-worlds-can-help-people-living-with-disabilities-%E2%80%93-part-2/, diakses 11 Februari 2014)