Foto Selfie: Komodifikasi Diri Sendiri di Era Jejaring Sosial
Trias Widha Andari
Dosen Desain Komunikasi Visual, Universitas Internasional Semen Indonesia
Akhir abad ke-19 merupakan kelahiran babak baru dalam dunia fotografi yang ditandai dengan penemuan kamera digital.[1] Berbeda dengan analog, dunia fotografi digital menawarkan keleluasaan dalam melakukan pengambilan hingga pengolahan gambar. Penemuan kamera dengan kelengkapan fitur terus berkembang hingga saat ini. Kemudahan penggunaan kamera menyebabkan fotografi digital tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan profesional, masyarakat awam pun mulai terjun ke dunia tersebut. Bahkan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti kamera yang terdapat pada smartphone seseorang dapat mengambil foto dan melakukan pengeditan dalam waktu yang relatif singkat.
Dunia fotografi belakangan ini dipadati dengan foto-foto yang banyak diunggah di dunia maya. Secara visual, foto-foto tersebut memiliki kemiripan, yaitu foto diri dengan ekspresi duck face, sebagian lengan yang mengarah ke depan, serta kamera yang diarahkan ke cermin atau sudut pengambilan foto 450 di atas kepala. Ya, selfie telah menjadi salah satu trend di dunia fotografi digital saat ini. Dalam Kamus Oxford, selfie diartikan sebagai foto yang diambil oleh diri sendiri yang biasa dilakukan dengan menggunakan ponsel dan dibagikan melalui jejaring sosial secara online.[2] Beberapa orang memanfaatkan teknologi smartphone untuk melakukan selfie dengan melakukan editing sederhana sehingga foto yang diambil tampak lebih indah.
Fenomena selfie dimulai pada tahun 2004 yang pertama kali muncul pada jejaring sosial Flickr dengan tanda hashtag (tanda pagar) selfie. Di tahun 2005, selfie mulai menyebar melalui jejaring sosial MySpace. Facebook yang muncul di tahun 2009 pun ikut menawarkan akun dengan foto profil yang dapat memuat foto dengan kualitas tinggi. Di tahun 2010, Apple merilis iPhone4 dengan fitur kamera depan yang memungkinkan seseorang melakukan selfie dengan lebih sempurna. Fenomena ini berlanjut di tahun 2011 dengan kemunculan instagram yang dilengkapi dengan fitur pengeditan kontras, kecerahan, dan warna pada foto. Hingga pada tahun 2013, selfie menjadi populer di berbagai belahan dunia. Beberapa tokoh besar seperti pemimpin negara dan kalangan selebritas pun turut andil dalam meramaikan trend ini. Bahkan istilah selfie dimasukkan dalam Kamus Oxford pada tanggal 28 Agustus 2013.[3]
Selfie dapat menjadi cerminan dari kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Melalui foto selfie yang diunggah, dominasi sifat individulis dan berkelompok di suatu negara dapat dibaca. Di Inggris misalnya, pengunggah foto selfie didominasi oleh obyek foto yang hanya memuat satu orang dalam satu frame, sedangkan di negara lain sebaliknya. Jumlah orang yang masuk dalam frame kamera serta jenis foto selfie yang dihasilkan dapat menjadi petunjuk untuk membaca kebudayaan yang tumbuh di suatu negara.[4] Contohnya, jumlah foto selfie bersama aparatur negara yang diunggah menunjukkan ukuran power distance dalam suatu negara.
Berdasarkan tujuannya, selfie dapat dikategorikan menjadi selfie as shared experience, selfie as swagger, selfie as story, dan selfie as ritual. Selfie as shared experience menghasilkan foto yang menunjukkan pengalaman menakjubkan dari seseorang. Foto selfie tersebut seolah-olah ingin menunjukkan makna 'aku bersamamu', seperti foto yang diunggah oleh seorang astronot yang sedang berada di luar angkasa. Selfie jenis ini banyak diunggah oleh masyarakat di Saudi Arabia dan Hong Kong. Selfie as swagger menghasilkan foto yang menunjukkan kebanggaan atas sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Selfie jenis ini seolah-olah menunjukkan makna 'lihat ini' serta banyak di unggah oleh masyarakat Rusia dan Lebanon. Masyarakat USA dan Kanada lebih banyak mengunggah foto selfie as story yang seolah-olah memiliki makna 'lihat aku'. Jenis terakhir yaitu selfie as ritual yang seolah-olah memiliki makna 'inilah aku'. Selfie jenis ini menghasilkan foto yang menunjukkan tindakan heroik yang akan atau sedang dilakukan seseorang. Foto jenis ini banyak diunggah di Mexico dan Perancis.[5]
Membaca sebuah foto merupakan proses dari dua elemen, yaitu studium dan punctum. Seperti yang disampaikan oleh Roland Barthes, studium dapat dimaknai sebagai mempelajari elemen yang memancing ketertarikan seseorang dalam melihat suatu foto tanpa menggunakan ketajaman khusus. Pada elemen studium, seseorang akan melihat foto berdasarkan perasaan suka atau tidak yang didapatkan melalui pengalaman.[6] Elemen kedua yaitu punctum yang dimaknai sebagai sebuah penanda atau 'kecelakaan' yang mengakibatkan munculnya sensitivitas lain dalam diri seseorang ketika melihat sebuah foto.[7] Punctum tidak selalu ada pada setiap foto. Membaca foto selfie dengan menggunakan elemen studium dilihat dari perasaan suka atau tidak suka terhadap foto yang dibagikan oleh seseorang di sosial media. Sedangkan membaca foto selfie dengan menggunakan elemen punctum yang terdapat di dalamnya akan dijabarkan dari aspek psikologi dan komoditas berikut ini.
Selfie merupakan pencerminan dari sifat individual manusia. Saat seseorang tidak perlu selebritis untuk memberi tahu tentang siapa mereka di hadapan khalayak, cukup dengan memiliki kamera ponsel dan akun jejaring sosial. Dengan selfie, orang biasa pun dapat menjadi kontrol dari ceritanya sendiri. Fenomena selfie dapat ditinjau dengan menggunakan teori psikologi individual yang dipopulerkan oleh Alfred Adler. Dalam teori ini terdapat dua hal yang mendorong tingkah laku seseorang, yaitu dorongan kemasyarakatan dan keakuan. Dorongan kemasyarakatan mengakibatkan seseorang bertindak dan mengabdi pada masyarakat. Dorongan keakuan mengalami perkembangan sebagaimana yang disimpulkan Adler seseorang memiliki dorongan kuat untuk menjadi superior, berharga, dan lebih sempurna. Superioritas yang dimaksud adalah keadaan seseorang yang menuntut pengalaman dan perasaan berharga.[8]
Dorongan superioritas dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Adler bahwa gaya hidup merupakan bentuk kompensasi terhadap kekurangan seseorang. Sebagai pengembangan dari teori psikologi individual Adler, Fritz Kunkel mengidentifikasi munculnya apersepsi bertendens dan dresat. Apersepsi bartensens dapat menyebabkan seseorang berperilaku menyimpang demi mempertahankan dorongan keakuannya. Lebih dalam lagi, bertendends dapat berubah menjadi dresat yang memandang sesuatu dari sudut pandang tertentu dan bersifat beku.[9] Seseorang mungkin berusaha untuk mencapai kompensasi kekurangannya dalam sebuah lingkaran setan dimana jika kompensasi yang dilakukan gagal maka seseorang harus berusaha lebih keras.[10] Jika kompensasi yang dilakukan berhasil, seseorang bisa saja dihadapkan pada kekurangan lain yang menuntut kompensasi, begitu pula seterusnya.
Pada selfie, superioritas yang berupa keinginan seseorang untuk dihargai muncul sebagai kompensasi atas kekurangan yang menjadikan seseorang merasa kurang dihargai. Dengan memanfaatkan sudut pandang tertentu pada proses pengambilan gambar, seseorang dapat menutupi kekurangan fisik yang dimilikinya. Sebaliknya, seseorang dapat menampakkan diri secara lebih sempurna.
Foto selfie dan sosial media juga berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini tidak terlepas dari perilaku konsumerisme. Bentuk konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat konsumer pun mengalami pergeseran. Barang-barang yang dikonsumsi digunakan sebagai bentuk dari status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu.[11] Bahkan tidak menutup kemungkinan, beberapa bentuk konsumsi telah ditentukan dan dimanipulasi oleh produsen. Bentuk barang konsumsi pun tidak selalu memiliki wujud fisik, tetapi juga dapat berupa benda virtual.
Sebagaimana kapitalisme yang menjadi akar dari perilaku masyarakat konsumer, komodifikasi telah menjadi bagian yang wajar dalam kehidupan sosial saat ini. Hampir seluruh aspek kebudayaan dari benda hingga tradisi dapat diubah menjadi komoditas yang diperdagangkan.[12] Komoditas dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan. Sedangakan komodifikasi berarti proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi menjadi komoditi.[13] Saat ini, terdapat sebuah kerancuan konsep mengenai komoditas itu sendiri. Sebagian orang berpendapat bahwa komoditas berkaitan dengan proses produksi massa, namun pada kenyatannya, objek tunggal sendiri dapat didefinisikan sebagai komoditas. Kecenderungan seseorang untuk memiliki produk yang otentik serta berbeda dari yang lain menjadi penanda bahwa produksi massa dalam konsep komoditas dapat dihilangkan.[14]
Komodifikasi diri sendiri pada fenomena foto selfie dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, diri sendiri digunakan sebagai media tempat melekatnya benda yang dikonsumsi. Dalam hal ini, diri sendiri dimaknai melalui identifikasi barang yang dibeli dan dikenakan. Kedua, komodifikasi diri sendiri dilihat dari pengorganisasian kehidupan personal dan hubungannya dengan pasar. Hal ini diibaratkan seperti pembentukan citra personal (personal branding) yang biasanya dimanipulasi demi kepentingan ekonomi.[15]
Pada fenomena selfie, manusia dapat dipandang sebagai ‘produk’ yang memperdagangkan dirinya sendiri untuk mendapatkan keuntungan berupa pengakuan dan penghargaan dalam masyarakat. Sebagai bahan yang dibagikan dalam jejaring sosial, foto selfie mungkin memuat berbagai data personal. Data personal yang ditampilkan dapat bersifat langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Data personal dapat pula menjadi bagain dari proses komodifikasi informasi dalam jejaring sosial.[16]
Proses komodifikasi dalam foto selfie dapat disimpulkan sebagai berikut. Foto selfie dapat digunakan sebagai acuan untuk membongkar identitas pribadi seseorang setelah dibagian di situs jejaring sosial yang dapat diakses oleh banyak orang. Foto selfie yang biasa dilengkapi dengan sistem tagging serta hashtag disadari atau tidak dapat menjadi tempat untuk menjual informasi pribadi mengenai diri sendiri kepada orang lain.
Dalam proses 'jual beli' tersebut, seseorang yang mengunggah foto selfie tersebut dapat diibaratkan sebagai 'penjual' yang mengemas barang dagangannya dengan sebaik dan semenarik mungkin. Di samping itu, 'penjual' juga akan berusaha meminimalisir tampaknya kekurangan pada barang yang dijual, dalam hal ini adalah foto selfie dan informasi pribadi itu sendiri. Sedangkan 'pembeli' adalah khalayak, khususnya pengguna jejaring sosial. Terlepas dari dampak positif atau negatif dari transaksi jual beli tersebut, baik penjual maupun pembeli hendaknya dapat memilah antara barang asli yang dipasarkan melalui strategi pemasaran manipulatif dengan barang imitasi yang telah melalui proses modifikasi sehingga tampak sempurna.
[1] NYU. Evolution of Digital Cameras. (https://files.nyu.edu/jac614/public/nyny/digital-cameras.html, Online, diakses 11 Maret 2014)
[2] Oxford Dictionaries. Selfie. (http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/selfie, Online, diakses 11 Maret 2014)
[3] Social Strategi. The Selfie Phenomenon Infographic. (http://www.socialstrategi.com/the-selfie-phenomenon-infographic/, Online, diakses 9 Maret 2014)
[4] Stock, Tim, Tupot, Marie Lena. 2014. Analyzing Selfies. (http://www.slideshare.net/scenariodna/analyzing-selfies, Online, diakses 9 Maret 2014)
[5] Ibid.
[6] Barthes, Roland. Camera Lucida. 1984. London: Flamingo. Hlm.26.
[7] Ibid., hlm. 27
[8] Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 194.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm.195
[11] Piliang, Yasraf Amir. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari. Hlm. 138.
[12] Proschel, Natascha. 2012. Commodification and Culture. Bachelor Thesis Vienna University. Hlm. 8
[13] Piliang, Yasraf Amir. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari. Hlm. 16-17.
[14] Proschel, Natascha. 2012. Commodification and Culture. Bachelor Thesis Vienna University. Hlm. 23
[15] Davis, Joseph E. The Commodification Of Self. The Hedgehog Review/ Summer 03. Hlm. 41
[16] Heyman, Rob, dkk. 2012. Mapping of The Process To Commodity Personal Identifiable Information. Research Report. Hlm. 13