Menjaga Kelestarian Nusantara dengan Belajar Membatik Khas Jonegoroan
Bojonegoro – Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) baru saja memberikan program Pengabdian Masyarakat hibah Kemenristekdikti skema Program Kemitraan Masyarakat berupa "Pelatihan Membatik bagi Ibu-ibu PKK Desa Manukan, Gayam, Bojonegoro". Bojonegoro memiliki sebuah batik khas Bojonegoro yang dikenal dengan sebutan Batik Jogenoroan. Batik Jonegoroan terdiri dari berbagai motif batik yang menggambarkan keunikan dan potensi sumber daya dari wilayah Bojonegoro.
“Ibu-ibu Desa Manukan dikenal sebagai petani yang cukup ulet. Oleh karena itu, sangat berpotensi juga memiliki ketelatenan dalam membatik. Melihat peluang tersebut, maka tim pengabdian masyarakat dari UISI berinisiatif untuk memberikan pelatihan membatik sekaligus rintisan dalam pembentukan industry kreatif berbasis batik diwilayah desa Manukan, Gayam”, ujar Ngatini, S.Si, M.Si selaku ketua tim pengabdian masyarakat dari UISI.
Walaupun Bojonegoro bukan daerah asal batik seperti halnya Pekalongan, namun Bojonegoro termasuk wilayah yang peduli pada pengembangan batik daerah. Masyarakat Bojonegoro juga dihimbau untuk ikut melestarikan batik melalui penggunaan batik dalam keseharian dan juga ikut serta pelatihan memembatik.
Ngatini bersama Maulin Masyito Putri dan Faisal Ibrahim yang merupakan TIM Pengmas UISI telah menggandeng Bu Iswatunnajwa, anggota Batik Tehnik Center sebagai narasumber dalam meningkatkan kreatifitas ibu-ibu PKK di desa Manukan, Gayam. Kerjasama ini kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pelatihan membatik selama seminggu kepada ibu-ibu PKK.
Terhitung mulai Sabtu (13/07) sampai dengan Sabtu (20/07) bertempat di Desa Manukan, sejumlah 29 ibu-ibu PKK mendapatkan pelatihan untuk membatik dengan berbagai metode. Dari jenis motif batik Jonegoroan, dipilih motif batik Sekarjati dan Belimbing Lining Lima sebagai motif. Motif Sekarjati menggambarkan daun jati. Tanaman Jati ini banyak didapatkan di hutan Bojonegoro Selatan. Bojonegoro juga dikenal sebagai penghasil belimbing yang manis dan besar, sehingga diambil pula motif Blimbing Lining Lima.
Perbedaan tekik pewarnaan ini didasarkan pada jumlah warna yang digunakan, serta kemudahan dalam pengerjaannya. “Proses tidak pernah menghianati hasil, ada proses ada uang”, papar Bu Iswatunnajwa yang merupakan pelatih dalam kegiatan membatik ini.
Semakin sulit dan kompleks warna yang diinginkan maka harga kain batik yang dihasilkan pun akan semakin mahal. Sebagai contoh, harga batik dari teknik Kalengan berkisar diatas Rp 75.000, namun batik ini hanya memiliki 1 warna. Adapun batik dengan teknis pewarnaan coletan, dijual dengan harga diatas Rp 115.000 karena jumlah warnanya yang lebih banyak dan kerumitan dalam proses pewarnaannya.
Kegiatan pelatihan membatik ini kemudian dilanjutkan dengan upaya inisiasi UKM batik Jonegoroan di desa Manukan.. Sejumlah mahasiswa UISI yang ikut terjun lapang di desa ikut serta membantu inisiasi ini dengan menjadi model batik, membantu pembuatan akun penjual batik di berbagai marketplace, serta juga mempromosikan batik Jonegoroan dalam bazar.
Kedepannya, diharapkan batik Jonegoroan ini tidak hanya menjadi pakaian harian dari masyarakat Bojonegoro, namun juga dapat menjadi salah satu sumber pendapatan masayarakat desa. Pembentukan UKM dan peningkatan business core melalui aplikasi TI (Teknologi dan Informasi) juga diharapakn dapat meningkatkan nilai jual batik dan memperkenalkan batik Jonegoroan di seluruh wilayah Indonesia. (*)