Guntoro, ketua Semen Indonesia Foundation
Guntoro, ketua Semen Indonesia Foundation
10 April 2018 | Tim Media UISI

Waste to Zero Maksimal jika Didukung Masyarakat

Selain peningkatan brand pendidikan formal dan merintis pendidikan non formal, Guntoro berharap instalasi waste to zero di TPA Ngipik, Gresik, bisa segera dioperasikan.

Selain peningkatan brand pendidikan formal dan merintis pendidikan non formal, Guntoro berharap instalasi waste to zero di TPA Ngipik, Gresik, bisa segera dioperasikan. Ke depan SMIF tak sekadar mengolah sampah menjadi bahan bakar plastik, tapi juga membangun budaya baru di masyarakat. Yakni budaya memilah sampah sejak dini.

Bagaimana dengan pendidikan entrepreneurship?

Kalau yang entrepreneurship kita kan punya UISI yang punya LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat). LPPM UISI itu punya entrepreneur development. Nah, kalau bisa dikolaborasikan dengan SMIF yang punya buncob dan bundik, itu kan baik. Nanti akan kita arahkan ke situ. Lalu, kalau CSR punya program agar UKM menjadi  bankable, kita juga bisa kerja sama atau kita fasilitasi untuk pendidikan entrepreneur. Jadi nanti kita buat semacam youth development center.

Berarti selama ini pendidikan non formal tidak disentuh?

Bukan begitu, tapi mungkin menyangkut skala prioritas. Karena sebelumnya, pendirian UISI dan AKSI itu butuh perhatian lebih. Sampai sekarang kami masih berpikir bagaimana agar lembaga pendidikan kita, baik SMA maupun perguruan tinggi, bisa lebih berkembang. Sebab harus diakui, sekolah kita ini bukan favorit amat. Bandingkan dengan Muhammadiyah yang calon siswanya sampai inden kelas.Tiga tahun sebelumnya mereka sudah punya murid. Kita belum sampai ke sana.

Penyebabnya?

Mungkin lebih ke branding. Seberapa diinden orang itu kan karena citra merek sekolah itu sendiri. Kalau lihat situasi sekarang, mungkin yang perlu dilakukan itu penguatan branding. Maka kami berpikir untuk brainstorming dengan kepala satuan pendidikan dan kepsek, untuk mengetahuai kira-kira apa ya brand kita yang perlu diperkuat. Artinya kalau kita punya kelebihan, ya itu yang harus di-strengthen.

Kita tidak akan mengekor sekolah lain yang sudah populer. Tapi kita akan mencari kekuatan kita sendiri, ya itu yang akan diperkuat branding-nya. Bayangan saya, masing-masing sekolah nanti harus punya branding. Kalau vokasi praktiknya di perusahaan yang kita punya, biar layak jual. Kalau yang lain praktikya di lab, lha kita praktinya di pabrik langsung. Itu salah satu branding.

UISI tentunya sama, tempat praktiknya adalah laboratorium hidup yaitu korporasi. Kalau SMA kita sudah punya status sekolah Adiwiyata  lingungan hidup, dan lainnya. Itu semua bisa diperkuat.

Apa kabar AKSI Gresik dan Rembang?

AKSI Gresik sudah menghasilkan lulusan, kalau yang di Rembang masih jalan satu semester. Ya itu, branding AKSI itu praktiknya langsung di industri. Kalau (pendidikan) vokasi yang lain kan bengkelnya di BLK, atau bengkel mesin sendiri. AKSI Rembang animonya bagus, kita sampai menolak calon mahasiswa. Pemkab Rembang juga sangat mendukung, bahkan sampai meminjami gedung.

Satu lagi, sejauh mana perkembangan proyek waste to zero?

Sampai sekarang belum beroperasi karena equipment-nya belum komplet. Main equipment-nya kan shredder (mesin pencacah), lha itu masih dalam perbaikan sehingga belum bisa beroperasi normal. Yang kita lakukan selama ini hanya memanasi mesin biar tidak rusak. Ini proyek mau dijalankan kapan, ya tergantung anggaran. Kalau ada, tahun 2018 juga bisa jalan.

Soal treatment sampah, yang berat itu kan pengelolaan sejak awal. Sekarang ini misalnya ngomong sampah organik pisahkan dari plastik, tapi orang kan buang sampah tetap dibungkus plastik, meskipun itu organik. Kalau negara lain bisa, misalnya Jepang, di sana budaya mengelola sampah sejak dini memang ada.

 Saya pikir lagi, apakah SMIF bisa menyasar sampai budaya penduduk. Bayangan saya, kalau waste to zero jalan, maka kita akan mengelola sampah baru dari warga. Maka kita akan bergerak sejak awal, yaitu memberikan penyuluhan kepada warga agar memilah-milah sampah. Kita punya Pramuka, mereka bisa dilibatkan dengan membentuk Saka Wanabakti menjadi sosialisator yang powerfull. Bisa mempengaruhi orangtua dan memberi contoh kepada masyarakat.

Sehingga pengelolaan sampah sejak dini itu bisa jadi budaya.  Senang kan membayangkan Gresik suatu saat nanti tidak bermasalah dengan sampah. Tapi sampahnya justru menghasilkan uang dan pupuk. Itu bayangan saya ke depan. Makanya saya selalu ngomong ke pengurus, kalau punya bayangan atau mimpi harus ditulis. Dengan begitu, kalau kita tidak bisa mewujudkannya karena usia, bisa dilanjutkan oleh pengurus berikutnya. (lin/bwo)

Artikel Terkait