Suasana diskusi publik (Foto: Tangkapan Layar)
Suasana diskusi publik (Foto: Tangkapan Layar)
29 Oktober 2020 | Tim Media UISI

BEM UISI Gelar Diskusi Publik : Merefleksikan Semangat Sumpah Pemuda dalam Menolak Omnibus Law

Diskusi publik terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diadakan oleh BEM UISI bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda memberikan kesadaran akan pentingnya sebuah kontribusi nyata serta bagaimana bersikap kritis terhadap problematika yang terjadi saat ini.

Gresik – Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda (28/10), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) gelar diskusi publik secara online dengan mengusung tema “Merefleksikan Semangat Sumpah Pemuda dalam Menolak Omnibus Law”, serta pemantik diskusi yakni Bayu Alfiansyah (Presiden BEM UISI 2019-2020) dan Agung Wirya Saputra (Presma UNTAG 2020-2021 & Koordinator Aliansi BEM Surabaya). Diskusi dilakukan melalui google hangout meet dengan peserta dari internal dan eksternal UISI.

Bayu Alfiansyah mengungkapkan bahwa untuk merefleksikan Sumpah Pemuda secara sederhana yaitu dengan mengubah atmosfer kampus menjadi proaktif, bukan hanya akademis tetapi juga non akademis/organisasi serta dalam menawarkan gagasan-gagasan penting terkait kenegaraan, karena kondisi perguruan tinggi tidak boleh lebih buruk dari kondisi negaranya.

Mengawali sesi pemaparan, Bayu Alfiansyah mengukapkan dalam memberikan kajian kritis perlu juga mengapresiasi semangat dari pemerintah dalam pembentukan Omnibus Law, salah satunya semangat untuk mendorong ekonomi melalui arus investasi yang masuk. Namun, dialektika berbagai fakta ternyata semangat itu tidak diimbangi dengan proteksi yang baik serta manajemen pengelolaan yang tidak sejalan.

“Kita ambil contoh pada pasal 88 Omnibus Law yang membahas upah minimum yang ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi di tiap provinsi, padahal didalam UU No. 13 Tahun 2003 upah minimum regional ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, tidak adanya batas minimum pemberian gaji terhadap buruh/pekerja untuk bisnis skala kecil UMKM”, ungkap Bayu.

Dasar penolakan terhadap Omnibus Law lanjutnya, bukan hanya terkait buruh dan tenaga kerja. Salah satu faktor atau variabel lain yaitu terkait penghilangan environmental ethics yang dapat membuat gejolak di masyarakat sehingga menimbulkan lingkungan tidak kondusif.

Bayu Alfiansyah juga menyinggung, terjadinya demonstrasi besar-besaran saat ini karena komunikasi dari pemerintah yang buruk, pemerintah hanya mau mendengar siapa yang mempunyai kekuatan basis paling besar. “Bisa dilihat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran berdasarkan data The Economist Intelligence (EIU), hari ini kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum tidak disikapi dengan baik, padahal dalam demokrasi komponen yang paling utama adalah suara rakyat”, tegas Bayu.

Selanjutnya pemantik diskusi, Agung Wirya Saputra menyoroti problematika Omnibus Law dan kajian penyusunan perundang-undangan dalam perspektif ketatanegaraan, ia mengungkapkan tujuan Omnibus Law dapat digambarkan dalam beberapa poin antara lain memenangkan persaingan global, merampingkan demokrasi, menyelesaikan over regulation, peningkatan sektor ekonomi, kemudahan investasi dan cipta lapangan kerja.

“Tetapi masalah Indonesia bukan hanya masalah hyper regulation, ada banyak hal kenapa orang tidak mau investasi di Indonesia salah satunya adalah korupsi sebagai problem kebijakan sektor ekonomi dan adanya pengaruh oligarki yang kuat di dalam negeri. Sektor yang paling penting untuk mempercepat masuknya investasi di Indonesia adalah membangun pemerintahan Indonesia yang benar-benar transparansi dan tidak korupsi. Image itu yg perlu dibangun terlebih dahulu sebagai branding negara yang ingin masuk ke kompetisi global”, ungkap Agung.

Agung Wirya Saputra juga menyorot problematika dimana pembuatan UU Omnibus Law yang tidak sesuai dengan sektor hukum formal. “Seharusnya draft rancangan undang-undang Omnibus Law sudah harus disebar sebelum dimasukkan ke Prolegnas, tetapi Omnibus Law ini ujug-ujug (tiba-tiba) ada. Padahal pembuatan UU tidak boleh sembarangan dan itu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011”, jelasnya.

Presiden BEM UISI 2020-2021, Arendi Yunus Alviansyah berharap dengan digelarnya diskusi publik tersebut dapat memberikan kesadaran akan pentingnya sebuah kontribusi nyata serta bagaimana bersikap kritis terhadap situasi permasalahan di kondisi saat ini khususnya terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.

[fit/msl]

Artikel Terkait