BEM UISI Selenggarakan Diskusi Publik Bertemakan "Antara HAM dan Papua"
Gresik – Sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dianggap masih belum jelas kelanjutan penyelesaiannya bahkan hanya mondar-mandir di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung tanpa menemukan titik temu. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya dinilai sebagai amanat reformasi, tetapi juga merupakan tantangan bagi bangsa untuk menatap masa depan.
Berdasar keprihatinan pada kondisi HAM di Indonesia saat ini dan dalam rangka memperingati hari HAM sedunia pada 10 Desember setiap tahunnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) menyelenggarakan diskusi publik dengan mengusung tema “Antara HAM dan Papua” dengan pemantik diskusi yaitu Arkilaus Baho (Ketua Aliansi Mahasiswa Papua 2005-2008) dan M. Ferdi Andika (Kepala Biro Kastrat BEM UISI 2020-2021). Diskusi dilakukan melalui google hangout meet dengan peserta dari internal dan eksternal UISI pada Senin (7/12).
Mengawali sesi diskusi, pemantik M. Ferdi Andika memaparkan mengenai pengertian HAM dan hukum yang mengatur HAM di Indonesia. HAM diatur pada Undang-Undang Dasar 1945 bab XA (pasal 28 A – J) dan pada Undang-Undang (UU) No.39 Tahun 1999. Meskipun sudah ada UU yang mengatur tentang persoalan HAM, dalam prakteknya Indonesia masih memiliki banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Ferdi melanjutkan dengan menyebutkan kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan seperti kasus Munir, Marsinah, Wiji Thukul, aktivis-aktivis 1998 lainnya dan juga yang sering terlupakan di negeri ini adalah tentang Papua yang kondisinya saat ini terpuruk dan mayoritas tertinggal. Di Papua juga masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM seperti penembakan dari pihak militer kepada pendeta Yeremia Zanambani di Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) pada 19 September 2020 lalu.
Selanjutnya, pemantik diskusi Arkilaus Baho mengungkapkan bahwa pelanggaran HAM di Papua sampai saat ini masih menjadi beban yang masih belum bisa diselesaikan oleh negara. “Beberapa kasus seperti Talangsari, Semanggi dan Tanjong Priok. Satu paket perjuangan yang lama-lama ini sampai sekarang saja belum diselesaikan, bagaimana dengan yang baru?”, ucapnya.
Arkilaus Baho menyampaikan bahwa eskalasi yang sering terjadi yaitu pembatasan menyampaikan pendapat di muka umum. Suara-suara rakyat Papua dibatasi bahkan demo-demo damai pun semua ditutup dengan alasan UU Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas).
“Seluruh kontrol di Papua dibawah kendali Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) sehingga apa yang terjadi di Papua ini kemudian membedakan Papua dengan daerah lain. Kebijakan ini seolah-olah menjadikan Papua seperti bukan bagian dari NKRI”, pungkasnya.
[fit/msl]